Apa Yang Dimaksud Dengan
Wakaf?
Menurut bahasa Arab
(literal), kata “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan). Bentuk mutaradif
(sinonim) dari kata “waqaf” adalah tahbiis dan tasbiil.
Sedangkan menurut syariat,
“al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan
kemanfaatannya di jalan Allah. Menurut
Abu Yusuf dan Mohammad, wakaf adalah menahan benda agar tidak bisa dimiliki ,
dan agar manfaatnya bisa disedekahkan.
Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan
Allah.
Menurut ‘ulama-ulama
Syafi’iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin bisa
dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak
kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan
yang dibolehkan.
Apa Status Hukum Wakaf?
Hukum wakaf adalah sunnah
(mandub); dan ia termasuk sarana
mendekatkan diri kepada Allah swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam
IslamAl Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya
menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat Islam, dan
belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy,
Fath al-Baariy, juz 8/350]
Apa Dasar Hukum Penetapan
Wakaf Di Dalam Islam?
Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalaniy, asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Umar
ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:
أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ
لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ
شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ
لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي
الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ
لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ
غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
“Sesungguhnya Umar ra pernah
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.
Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu,
seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar,
yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”. Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan,
tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata,
“Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual,
dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang
fakir, para kerabat, para budak,
orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya
dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta
harganya…” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Ketika menjelaskan hadits di
atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya Ibnu
Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya)
Umar”. Riwayat ini diperkuat oleh
hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata,
”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam. Kaum Muhajirin menjawab, ”Waqafnya
Umar”. Sedangkan kaum Anshor menjawab,
”Waqafnya Rasulullah saw”.
Pensyariatan waqaf juga
disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal dunia,
maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”[HR. Muslim, Imam
Abu Dawud, dan Nasa'iy]
Imam Ibnu
Katsirmengatakan,”Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan
perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits
shahih, “Sesungguhnya, rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang
laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan anaknya termasuk hasil usahanya.”
Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan bekas-bekas amal
perbuatannya dan peninggalannya. Allah
swt berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan“[TQS. Yaasiin (36) :12]. Ilmu
yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia, kemudian diikuti oleh manusia
setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya. Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa
Rasulullah saw bersabda,”Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan
mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti petunjuk itu,
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”
Imam Nawawiy, dalam Syarah
Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:
“Para ulama menyatakan,
bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan
kematiannya, kecuali tiga hal ini.
Sebab, tiga perkara tersebut berasal
dari usaha orang yang telah meninggal itu sendiri. Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil
usahanya; demikian pula dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah
kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala doa akan sampai kepada
orang yang mati, demikian juga sedekah.“
Menurut Imam Mubarakfuriy dalam
Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah
terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali tiga perkara.
Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah
yang berujud wakaf dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu
pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan
dirinya. Menurut Ibnu Malik anak di sini
ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh.
Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.
Imam al-Sanadiy dalam Syarah
Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini adalah terputusnya
pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan. Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa
bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum. Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam
terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut..
Al-Hafidz al-Suyuthiymengatakan,”
Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga perkara ini tetaplah
mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka
setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia. Adapun yang dimaksud dengan sedekah jariyah
di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy ‘Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus
berbarengan dengan kematiannya. Akan
tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang mengusahakan tiga perkara
ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-tengah
manusia, atau ia memiliki karangan yang
tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan sedekah jariyah, maka
pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada.”
Dalam kitab ‘Aun Ma’bud
disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang telah
terputus kecuali, pahala dari tiga hal
Pahala dari tiga hal ini — sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan
anak sholeh–, akan tetap mengalir.
Senada pengertiannya dengan
hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits bahwasanya
Rasulullah saw bersabda;
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ
مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا
صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ
السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ
فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
”Sesungguhnya, diantara
perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah
kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya,
mushhaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk
ibnus sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari
hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah
kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]
Hadits lain yang menunjukkan
bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang dituturkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ
بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ
أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Rasulullah saw telah
memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan bahwasanya
Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra menolak
membayar zakat. Nabi saw pun bersabda,
“Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah
fakir. Lalu, Allah swt dan RasulNya
mengayakan dirinya. Adapun Khalid;
sesungguhnya kalian telah mendzalimi Khalid.
Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan
menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……”[HR. Bukhari dan Muslim]
Apa Perbedaan Antara Zakat
Dengan Wakaf?
Dari sisi hukumnya, zakat
berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).
Orang yang diberi harta
zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus. Fakir miskin, ketika mendapatkan seekor
kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan semua manfaat
dari kambing tersebut. Sedangkan pada
kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta
waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya. Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf
kambing, maka penerima waqaf hanya berhak mengambil air susunya, atau manfaat
dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia miliki.
Zakat hanya diperuntukkan
bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran. Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya
bagi 8 golongan itu saja.
Pada harta zakat tertentu
disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul
dan nishab.
Jumlah zakat yang harus
dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya,
zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya. Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan
spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.
Apa Perbedaan Waqaf Dengan
Sedekah?
Waqaf termasuk bagian dari
sedekah. Hanya saja, pada waqaf yang
diambil hanyalah manfaat atau guna dari harta waqaf tersebut, tanpa melenyapkan
harta waqafnya. Dengan kata lain, orang
yang diberi waqaf hanya berhak atas manfaatnya belaka. Sedangkan sedekah dalam
pengertian umum, adalah menyerahkan harta dan gunanya sekaligus kepada orang
lain. Dengan demikian, penerima waqaf
hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja, tidak pada bendanya. Berbeda dengan sedekah; penerima sedekah berhak
atas benda dan manfaatnya sekaligus.
Apa Perbedaan Wakaf Dengan
Hibah (Hadiah)?
Hibah (hadiah) adalah
pemberian harta milik seseorang pada saat masih hidup kepada orang lain. Hibah terjadi pada benda-benda yang mubah
apapun; mulai dari makanan, minuman, uang, baju, rumah, tanah, dan lain
sebagainya. Sedangkan harta yang
diwaqafkan disyaratkan harus tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan. Tidak
boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan. Syarat seperti ini tidak berlaku pada harta
yang hendak dihibahkan.
Harta yang dihibahkan maupun
manfaatnya berhak dimiliki oleh penerima hibah.
Adapun pada kasus waqaf, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan
gunanya saja
Khatimah
Wakaf adalah sunnah Nabi saw
dan generasi salafush shalih. Di
dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi waaqif, naadzir
(pengurus waqaf), maupun orang-orang yang menerima dan berhak memanfaatkan
waqaf.
Bagi waaqif, wakaf adalah
investasi berharga di akherat kelak.
Pasalnya, ketika banyak orang sudah tidak memiliki lagi “penghasilan
akherat” akibat kematiannya, waaqif akan tetap mendapatkan aliran “penghasilan
itu” sampai hari kiamat. Tentunya, hal
ini merupakan kesuksesan luar biasa!
Waqaf juga menunjukkan
kesempurnaan kebaikan seseorang. Jika
kebaikan telah ada pada diri seseorang, niscaya hidupnya akan selalu dilimpahi
kemudahan dan keberkahan dari Allah swt.
Lantas, di saat kita masih diberi kesempatan hidup dan kelebihan harta
oleh Allah, mengapa kita tidak bergegas untuk mewaqafkan harta kita di jalan
Allah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar